Minggu, 25 November 2012


  Menguak Salah Kelola Pertambangan di Indonesia
Dunia usaha pertambangan dalam negeri kembali gundah pascaditerbitkan Permen No 07/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Permen tersebut dinilai memberatkan kegiatan usaha pertambangan, khususnya pertambangan mineral.

Pasal 7 permen yang disahkan pada 6 Februari 2012 lalu itu, misalnya, mewajibkan pengusaha pertambangan membangun pabrik dan/atau pemurnian hasil pertambangan. Padahal, ketentuan tentang kewajiban pengolahan dan/ atau pemurnian hasil pertambangan telah diatur dalam UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

UU ini memberikan tenggat waktu (jatuh tempo) lima tahun bagi pengusaha untuk membangun pabrik pemurnian (smelter) setelah undang-undang tersebut disahkan. Itu berarti deadline-nya adalah tahun 2014. Jadi, isi Permen 7/2012 tersebut bertolak belakang dengan ketentuan pembangunan smelter berdasarkan UU Minerba. Berdasarkan permen, pabrik pengolahan dan/atau pemurnian hasil tambang harus dibangun selama-lamanya tiga bulan setelah aturan tersebut ditetapkan, yaitu pada 6 Mei 2012 ini.

Sangat mengenaskan. Hal ini menunjukkan pemahaman pemerintah terhadap perundangundangan tampaknya amat minim. Di sisi lain, para pengusaha pertambangan semakin didera kesulitan karena semakin panjang saja daftar kewajiban yang harus mereka jalankan. Dengan Permen 7/2012, kewajiban pengusaha untuk mengeluarkan dana semakin besar.

Padahal, hasil komoditas pertambangan masih fluktuatif. Obral Izin Tambang Penerbitan Permen 7/2012 tersebut sekaligus melengkapi sejumlah kesalahan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan di Tanah Air selama ini. Pertama, obral izin tambang yang dilakukan selama ini tanpa memberikan persayaratan baku soal jenis perusahaan yang boleh mendapatkan izin tambang.

Hal ini pada akhirnya membuka lebar kesempatan bagi para pengusaha yang tidak mumpuni dan tidak berintegritas untuk mengeksploitasi kekayaan tambang Indonesia. Kedua, pembiaran pemerintah terhadap maraknya praktik calo tambang. Pembiaran ini pada akhirnya mengacaukan inventarisasi data wilayah pertambangan. Ketiga, birokrasi dalam proses izin investasi, termasuk dalam usaha pertambangan, masih berbelit-belit dan banyak indikasi suap.

Keempat, kurangnya pelibatan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan. Inilah yang menyebabkan maraknya berbagai protes dari berbagai kalangan pasca peraturan tersebut disahkan. Seharusnya, pemerintah melaksanakan kajian komprehensif yang mendalam pada setiap proses perumusan kebijakan, salah satunya melalui focus group discussion (FGD) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Kelima, terjadinya inkonsistensi dalam berbagai peraturan. Terkait penetapan Permen 07/2012 ini, seharusnya pemerintah tetap berpegang pada UU No 4/2009 tentang batas waktu pelarangan ekspor dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri, yaitu tahun 2014. Bukan sebaliknya, pemerintah justru membuat peraturan yang bertolak belakang dan tumpang tindih dengan peraturan sebelumnya.

Keenam, soal bea ekspor sebesar 20% untuk 14 jenis bahan mineral, kebijakan tersebut tidak bisa disamaratakan. Mengenai meningkatnya produksi mineral yang diekspor, hal ini justru mengindikasikan pemerintah selama ini lemah dalam kontrol kebijakan dan sangat rapuh dalam menganalisis berbagai kemungkinan skenario akibat dari kebijakan yang dilahirkan.



Lumbung Kesejahteraan

Berbagai kesalahan pemerintah dalam tata kelola pertambangan tersebut bukannya tanpa sebab. Kesalahan tersebut bersumber dari ketidaktaatan pada siklus proses kebijakan publik yang seharusnya dilakukan pemerintah. Pakar kebijakan publik Michaela Pacesila mengemukakan, sebuah siklus kebijakan publik harus terdiri atas establishing the agenda; identifiying, formulating and choosing the option of public policy; formulation of the option of public policy; implementation of the option of public policy; dan evaluation of the public policy.

Setiap tahapan berperan penting dan memengaruhi tahapan lainnya. Di antara tahapan-tahapan tersebut yakni formulating public policy option adalah salah satu yang krusial. Dalam kaitannya dengan Permen 7/2012, terdapat indikasi adanya ketidaksempurnaan proses, khususnya dalam pelibatan stakeholder dalam memformulasikan kebijakan tersebut.

Karena itulah pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah tegas yang mendatangkan win-win solution bagi seluruh stakeholder pertambangan: parlemen, pengusaha, dan rakyat. Langkah-langkah yang harus diambil, yakni, pertama, meninjau kembali Permen 7/2012 ini dan mengkaji kembali mendalam dengan memasukkan berbagai unsure yang diperlukan.

Kedua, membentuk satuan tugas (satgas) atau kelompok kerja (pokja) khusus yang bertugas menggodok kasus ini dalam jangka waktu maksimal enam bulan ke depan. Ketiga, pemerintah tetap bisa memberikan izin ekspor, tapi tetap dengan pembatasan melalui kuota tertentu. Keempat, pemerintah juga harus menyesuaikan bea keluar dengan jenis tambangnya dan tidak menetapkan angka 20% bea ekspor kepada seluruh jenis hasil tambang tanpa memikirkan faktor-faktor eksternal lainnya.

Kelima, pemerintah harus memprioritaskan pengelolaan tambang batubara melalui berbagai macam peraturan perundangan, sehingga masa depan batubara sebagai sumber energi andalan memiliki prospek yang cerah. Keenam, ketakutan pemerintah terhadap pelaku dan pemegang kontrak kar ya (KK) asing adalah sebuah kesalahan yang fatal. Renegosiasi dan penetapan equal treatment ini sudah menjadi bagian dari risiko yang harus diperhitungkan pemerintah.

Ketujuh, pemerintah harus membahas kembali semua substansi atau isi UU terkait dengan energi, termasuk UU Migas dan UU Pertambangan dengan berpatokan kepada konstitusi dan amanat UUD 45. Dengan mengambil langkah-langkah di atas, pemerintah bisa menerapkan perencanaan strategis, sehingga di masa mendatang, salah kelola pertambangan tidak akan terjadi lagi. Pada gilirannya, pertambangan tidak akan menjadi gudang permasalahan, tapi, sebaliknya, menjadi lumbung kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

  Sumber : http://www.investor.co.id/home/menguak-salah-kelola-pertambangan-di-indonesia/35835

Kamis, 15 November 2012

Konflik tambang

Tambang adalah laboratorium alam yang luar biasa, dan lingkungan adalah salah satu gerbangnya, kepedulian terhadap lingkungan, pendewasaan pola pikir, dan semakin bodohnya manusia adalah saat ia mulai makin tahu sesuatu... 



KONFLIK DI KAWASAN PERTAMBANGAN

Pertambangan, suatu aktivitas penggalian mineral dari perut bumi yang telah diusahakan oleh manusia sejak mulainya peradaban. Zaman batu, zaman perunggu, zaman besi hingga baja menjadi acuan penentuan era peradaban manusia, perambangan menjadi penanda yang penting. Begitu vitalnya aktivitas pertambangan hingga kita kerap mendengar “everything begin with mineral”. Begitulah kira-kira pemeo yang bekumandang dan seperti yang kita lihat bahwa komputer, jam tangan mobil, pesawat kereta, jalan, gedung dan bangunan dan hampir tak ada sekeliling kita yang tidak berasal dari mineral dan aktivitas tambang.



Manusia tak bisa lepas dari mineral (www.mii.org)


Pertambangan pada dasarnya adalah aktivitas untuk mensejahterakan manusia. Dengan teknologi yang makin berkembang, main beragam jenis bahan tambang yang dapat diusahakan. Lambat laun perkembangan pertambangan sebagai industri sangat terkait dengan banyak pihak dan kegiatan. Tidak lagi hanya kebutuhan primer, kapitalisme yang membumbung telah membawa pertambangan di ranah yang kian sulit dimengerti. Pertambangan begitu dinamis hingga tidak dapat diajarkan di sekolah secara detail.

Kapitalisme ini mengarahkan pertambangan pada beragam konflik mulai dari konflik politis, sosial, budaya hingga ekonomi global. Konflik di kawasan pertambangan khususnya di Indonesia banyak berkembang dipicu oleh dua perubahan dasar yakni kondisi ekonomi dan hukum. Kondisi ekonomi dipicu oleh merosotnya kesejahteraan sebagian masyarakat Indonesia paca krisis moneter. Kemudian kondisi hukum yang tiada menentu menyebabkan banyaknya celah pemegang modal memanfaatkan rakyat untuk mendapatkan akses ke sumber daya mineral. 


Contoh konflik pertambangan di Afrika yang melibatkan aparat

Seperti konflik PT. NMR (Newmont Minahasa Raya) dengan “mereka” yang mewakili masyarakat sekitar Teluk Buyat, Indumuro Kencana dengan Penambang Tanpa Izin (PETI), konflik pemanfaatan mineral timah dengan masyarakat Tambang Ilegal (TI) hingga PETI batubara di Kalimantan Selatan. Konflik ini berkembang sangat cepat dan meluas ke berbagai pihak. Dapat dikatakan bahwa konflik di lahan tambang melibatkan banyak aktor intelektual dan juga pemegang modal.

Apabila di ditelaah maka dapat dikatakan bahwa akar pemasalahan konflik pertambangan ini terjadi pada dua tataran. Pertama adalah pada tataran mikro dimana konflik ini terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat, pemerintah atau dengan oknum spekulan dan aparat. Konflik ini umumnya terjadi pada tataran lokal dan melibatkan internal perusahaan dengan penambang tanpa izin seperti terjadi di tambang batubara di Kalsel, TI timah di Babel maupun di Sulawesi Utara. DI beberapa tempat bahkan ada indikasi aparat menjadi katalis atas meruncingnya konflik di wilayah itu sendiri.


Konflik pertambangan di tataran mikro (Dzulkarnain, 2006)


Kemudian yang kedua terjadi pada tataran makro dimana pada lingkup horizontal lebih luas mencakup konflik antar departemen pemerintah, lembaga kehutanan dan NGO, dengan pemerintah pusat dan daerah. Contohnya adalah ketika diterbitkan Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan yang menyebabkan tehentinya laju eksplorasi dan eksploitasi beberapa perusahaan yang telah mendapat KP atau KK di wilayah Hutan Lindung, kemudian definisi hutan lindung yang tidak jelas. Tumpang tindihnya wilayah tambang dengan hutan lindung ini bagi sebagian orang terlihat karena adanya ego sektoral dan lemahnya law enforcement.

Konflik pertambangan di tataran makro (Duzlkarnain, 2006)


Konflik pertambangan ini menjadi bengitu kompleks dan rumit karena konflik tataran makro dan mikro ini menjadikan konflik meyatukan berbagai variabel dengan lainya yang saling mempengaruhi. Seperti yang terjadi di Freeport Papua, publik awalnya berpendapat bahwa permasalahan disana adalah marginalnya pemerataan kesejahteraan sebagai dampak dari hadirnya PT. Freeport Indonesia. Kemudian berkembang menjadi isu sosial ke arah masyarakat suku pribumi (Amungme, Komoro dan lainya) terkait dengan wilayah. Itu baru masuk ke tataran mikro.


Ketidakterimaan masyarakat dapat berujung pada konflik eksternal perusahaan





Lalu selanjutnya berkembang ke tataran makro dimana PTFI dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan akibat pembuangan tailing sepanjang Sungai Ajkwa, dimana tuntutan ini dikeluarkan mulai dari NGO lokal dan internasional hingga Kementerian Lingkungan Hidup. Lalu belakangan ini merambah ke isu keamanan yang melibatkan aparat keamanan negara. Jadi konflik pertambangan ini menjadi begitu luas dan makin sulit untuk dibenahi tanpa adanya good will dari tiap-tiap institusi.

Freeport, kompleksitas konflik pertambangan indonesia



Di bawah ini adalah beberapa isu konflik pertambangan yang kerap terjadi pada tataran mikro seperti:
  • Isu pelaksanaan CSR, CSR saat ini sudah mulai dimasukan sebagai integrasi aktivitas tambang dan bukan lagi bersifat charity semata. CSR lebih menekankan peran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Program CSR yang berhasil haruslah diintegrasikan ke dalam strategi menyeluruh dari perusahaan.  CSR harus disadari oleh perusahaan sebagai upaya membangun hubungan yang baik dengan salah satu pemangku kepentingan perusahaan, yaitu masyarakat luas yang terkena dampak operasi perusahaan. Sebagai konsekuensi kesadaran bahwa perusahaan haruslah tampil sebaik mungkin di hadapan seluruh pemangku kepentingannya, CSR untuk masyarakat haruslah menjadi bagian integral dari strategi perusahaan. 


CSR menjadi salah satu kunci keberhasilan dan keberlanjutan pertambangan


  • ·         Akses terhadap kepemilikan sumberdaya mineral, Kesempatan untuk mendayagunakan sumberdaya mineral atau dapat dikatakan perlombaan eksploitasi ini umumnya menimbulkan rasa ketidakadilan. Perusahaan dianggap memiliki akses yang luar biasa besar, sementara masyarakat tidak diberikan akses yang sama. Meskipun pemerintah melalui UU Minerba NO. 4 tahun 2009 telah menetapkan wilayah pencadangan mineral dan wilayah pertambangan rakyat. Ketimpangan akses ini juga umumnya memicu timbulnya PETI yang “merasa” juga berhak mendapatkan akses yang sama, meskipun secara legalitas tidak dimiliki.
  • ·         Kesempatan dan persaingan kerja, Umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Seperti diketahui, industri tambang sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology sehingga pekerja datang dengan kemampuan tinggi dan renumerasi yang sesuai. Kemudian masyarakat sekitar umumnya adalah mereka dengan kemampuan skill terbatas bahkan tingkat pendidikan juga tidak tinggi sehingga kesempatan berusaha mereka lebih kecil dari para pendatang. Gap yang terjadi inilah yang memicu timbulnya konflik akibat persaingan kerja dengan putra daerah.
  • ·         Hak ulayat dan hak individu, Tentunya konflik ini berakar dari ketidakpenerimaan masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat masyarakat setempat. Tanah ulayat di klaim sebagai kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dna hak ulayat tentunya akan memutuskan hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya


Hak ulayat, tidak hanya terjadi di pertambangan



·         Kerusakan lingkungan, Pastinya ini adalah konflik menerus yang dihadapi oleh pertambangan. Kerusakan lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas tambang pada dasarnya bersifat destruktif karena merubah bentang alam, sifat fisik dan kimia tanah, bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total. Selain aktivitas tambang, aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan lingkungan seperti terjadinya air asam tambang (acid mine drainage) akibat teroksidasinya mineral yang mengandung sulfida. Dampak ini tentunya memprihatinkan karena kerusakanya tidak dapat ditanggulangi dalam waktu cepat.
·         Dampak PETI, PETI atau pertambangan tanpa izin adalah salah satu konflik multi kompleks yang terjadi di pertambangan indonesia. Dikatakan multi kompleks karena meliatkan banyak stakeholder makro maupun mikro. Banyak yang berkepentingan atas hadirnya PETI di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.

PETI sendiri bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI umumnya diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi ber­kepanjangan yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan pertam­bangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.

Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertam­bangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan dan premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya pencurian' termasuk menjarah, semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 



Kerusakan lingkungan akibat PETI
Lalu apa sajakah yang dapat menjadi trigger terjadinya konflik di pertambangan..? salah satu faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana terjadi kekurangpahaman hukum di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak ikut serta dalam pemanfaatan SDA minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan mereka sendiri tidak terangkat. Padahal sebagai agen of development, kehadiran perusahaan seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di berbagai bidang ekonomi lanjutan (multiplier effect).

Kemudian ada pemicu berganda lain seperti penggunaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan tanpa diwujduanya legalitas yang menguntungkan kedua pihak. Akibanya menyebabkan terputusnya hubungan mekanistik antara masyarakat dengan habitat asal dan lingkungan sosialnya dan merubah ritme kehidupan mereka. Sebagai pemilik awal, ini juga kerap memicu adanya sikap”menuntut” ini dan itu terhadap perusahaan.

Lalu bagaimana dengan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat sekitar tambang yang saat ini digadang-gadangkan sebagai konsep membangun tambang yang berkelanjutan..? Meski diakui bahwa konsep ini yang diselaraskan dengan Corporate Social Responsibility (CSR) baru berada pada milestone awal dan terkdang di perusahaan bukan menjadi prioritas. CSR dianggap sebagai terobosan baru di dunia perusahaan terlebh untuk perusahaan ekstraktif, karena menggabungkan prinsip “people and planet” dalam aktivitas pencarian “profit” perusahaan.

Diakui atau tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan kemampuan membangun diri masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama harus mampu menganggap hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang sejajar. Jangan menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya memberi kail tetapi tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang tepat.

Secara garis besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan SDA secara optimal oleh Pemerintah pusat dan daerah sebagai suatu kepentingan nasional. Juga oleh belum didukungnya optimasi national resources sustainabilityantara pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam management yang integral

sumber : http://radyanprasetyo.blogspot.com/2012/07/konflik-di-kawasan-pertambangan.html

Pengertian pertambangan dan gambaran pertambangan di indonesia

Apa itu Pertambangan????

Pengertian Tambang 
  1. Suatu penggalian yang dilakukan di bumi untuk memperoleh mineral (Hartman,1987)
  2. Lokasi kegiatan yang bertujuan memperoleh mineral bernilai ekonomis (kamus istilah teknik pertambangan umum, 1994).

Pengertian Pertambangan 
  1. Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,eksplorasi,studi kelayakan,konstruksi,penambangan,pengolahan dan pemurnian,pengangkutan dan penjualan,serta kegiatan pesca tambang (UU No 4 Tahun 2009) 
  2. Kegiatan,pekerjaan dan industri yang berhubungan dengan ekstraksi mineral (Hartman,1987) 
  3. ilmu pengetahuan,teknologi dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi,eksplorasi,evaluasi,penambangan,pengolahan,pemurnian sampai dengan pemasarannya (kamus istilah teknik pertambangan umum,1994)

Pengertian Teknik Pertambangan 
Suatu "seni"/rekayasa dan ilmu pengetahuan yang diterapkan pada proses penambangan dan operasional tambang (Hartman,1987) 

Mineral 
Benda padat anorganik dan homogen yang terbentuk secara alamiah,mempunyai sifat0sifat fisik dan kimia tertentu,dapat berunsur tunggal (Au,Cu,Ag) atu persenyawaan (NaCl, CaCO3) 

Batubara 
Endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan 

Bijih 
Mineral yang memiliki kegunaan dan nilai tertentu yang dapat diekstrak/ditambang secara menguntungkan (Hartman,1987) 

Tahapan-tahapan kegiatan penambangan (berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009) : 
  1. Penyelidikan Umum,tahap kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi
  2. Eksplorasi,tahap kegiatan pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi,bentuk,dimensi,sebaran,kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian,serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup
  3. Studi Kelayakan,tahap kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang
  4. Operasi Produksi,tahap kegiatan pertambangan yang meliputi konstruksi,penambangan,pengolahan,pemurnian,termasuk pengangkutan dna penjualan serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan 
  5. Konstruksi,kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi,termasuk pengendalian dampak lingkungan
  6. Penambangan,bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya
  7. Pengolahan dan Pemurnian,kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/aau batubara serta untyk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
  8. Pengangkutan,kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan
  9. Penjualan,kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertamabangan mineral atau batubara
  10. Reklamasi,kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata,memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya
  11. Kegiatan Pascatambang,kegiatan terencana,sistematis dan berkelanjutan setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan

Pertimbangan Dasar Rencana Penambangan 
Pertimbangan Ekonomis 
  1. Cut Off Grade (COG) ,ada 2 pengertian dari cut off grade yaitu :1)kadar endapan bahan galian terendah yang masih menguntungkan apabila ditambang,2)kadar rata-rata terendah yang masih menguntungkan apabila ditambang. Cut off grade inilah yang akan menentukan batas-batas atau besarnya cadangan serta menentukan perlu tidaknya dilakukan pencampuran (mixing/blending) antara endapan bahan galian yang berkadar tinggi dengan berkadar rendah 
  2. Break Even Stripping Ratio (BESR),yaitu perbandingan antara biaya biaya penggalian endapan bijih (ore) dengan biaya pengupasan tanah penutup (overburden)

Pertimbangan Teknis 
  1. Penentuan ultimate pit limit,yaitu batas akhir atau paling luar dari suatu tambang terbuka yang masih diperbolehkan dengan kemiringan lereng yang masih aman.
  2. Pertimbangan struktur geologi yang dominan yang terdiri dari 1) perlapisan dan perlipatan,2)sesar dan patahan,3)cleavage.
  3. Pertimbangan geometri yang terdiri dari 1)geometri jenjang,2)jalan tambang
  4. Stripping ratio (SR) yaitu perbandingan antara jumlah bijih yang harus dipindahkan dengan jumlah batuan penutup (overburden)
  5. Pertimbangan hidrologi dan hidrogeologi,yaitu berupa sungai,air permukaan (air hujan) dan air tanah. Penanganannya dapat berupa mine drainage (mencegah air masuk kedalam tambang) dan mine dewatering(mengeluarkan air yang telah masuk kedalam tambang)
Sumber : http://endah121.blogspot.com/2010/01/pengertian-tambangtahap-tahapnya.html
 
nah, bagaimana kondisi pertambangan di indonesia ?
menurut sumber 

Pertambangan Indonesia Hadapi Dilema

Tunda Investasi atau Ubah Status Hutan Lindung

SEDIKITNYA 150 perusahaan tambang menunda investasi di Indonesia, karena wilayah pertambangan yang sudah diberikan pemerintah ternyata ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pemerintah menghadapi dilema, apakah fungsi hutan lindung akan diubah menjadi hutan produksi, sebab harus memilih, mengubah kebijakan menjaga kelestarian hutan atau membiarkan untuk usaha pertambangan terbuka dengan risiko kerusakan lingkungan.Persoalan mandeknya investasi tambang akibat status hutan lindung, dipicu lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 (UU No 41/1999) mengenai Kehutanan. Dalam UU tersebut sudah jelas penegasan bahwa tidak boleh dilaksanakan pertambangan terbuka di atas hutan lindung.
Pada Pasal 19 UU No 41/1999, Ayat (1) disebutkan bahwa "Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu"; Ayat (2) disebutkan "perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan luas, serta bernilai strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)"; Ayat (3) disebutkan bahwa "ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Dalam penjelasan undang-undang tersebut, disebutkan bahwa penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian. Oleh karena itu, penelitian diselenggarakan oleh lem-baga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.
Sementara, yang dimaksud dengan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik, seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM) Wimpy S Tjetjep, mengakui, sektor pertambangan di Indonesia memang berada pada kondisi yang sangat sulit berkembang. Sektor pertambangan mendapat tantangan yang sangat besar bukan hanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun datang dari pemerintah daerah (pemda) maupun departemen lain yang terkait.
Namun, tertahannya investasi dari 150 proyek tambang baru dan perluasan tambang, hanya salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pertambangan di Indonesia. Pada tahun 2001, industri pertambangan Indonesia juga menghadapi tantangan baru, di antaranya tekanan masalah harga mineral, situasi politik, ekonomi dan sosial yang berkelanjutan di Indonesia.
Bersamaan dengan ketidakpastian iklim perundang-undangan, tampaknya akan memberikan dampak negatif kepada industri pertambangan secara keseluruhan. Peraturan yang tumpang tindih, sering membuat pengusaha pertambangan kesulitan dalam melaksanakan kegiatannya.
Tidak dapat dimungkiri, perusahaan asing telah menjadi katalisator bagi pembangunan sebagian besar dari industri pertambangan Indonesia. Sebagai catatan penting, pada tahun ini keputusan tentang kasus divestasi PT Kaltim Prima Coal (KPC)-dimiliki bersama Rio Tinto dan BP-kemungkinan akan menimbulkan konsekuensi yang luas kepada industri, maupun bagi Indonesia dalam arti yang luas.
Masalah KPC yang dianggap dapat mengancam daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi pertambangan, adalah masalah gugatan Pemda Kalimantan Timur terhadap KPC atas kasus divestasi 51 persen saham KPC. Pemegang saham KPC menilai, langkah Pemda Kaltim yang mengajukan gugatan perdata sebagai cermin dari ancaman investasi bagi investor asing di Indonesia.
Direktur KPC, Lex Graefe, beberapa waktu lalu mengatakan, bila cara semacam ini terus dipakai oleh pemda, tidak mustahil para investor akan hengkang. Selain mencemaskan investor, tindakan tersebut juga dapat mengganggu jalannya investasi ke Indonesia di masa mendatang.

***

PADAHAL, tahun 2002 menjadi harapan, agar produksi tambang Indonesia dapat meningkat, khususnya dengan adanya peserta baru yang akan memaksimalkan operasinya. Dengan cara memanfaatkan kelebihan kapasitas industri, terutama di sektor batu bara dengan terjadinya perbaikan harga batu bara dunia belakangan ini.
Namun, banyak persoalan, khususnya pada produksi batu bara yang terpengaruh kegiatan penambangan tanpa izin (peti) yang jumlahnya belakangan ini meningkat secara signifikan di Indonesia. Khususnya pada sektor timah dan batu bara, kecuali pemerintah segera memberikan bantuan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengatasi masalah ini.
Investasi dalam industri pertambangan Indonesia pada tahun 2002, juga diperkirakan akan merosot dengan tajam, khususnya dalam pengeluaran untuk pengembangan dan untuk aktiva tetap. Sementara itu, pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan diperkirakan tetap berada pada tingkat rendah yang telah dialami sejak tahun 1997.
Hal ini menjadi gambaran, kurangnya proyek baru dan keinginan perusahaan pertambangan di Indonesia untuk memusatkan perhatian kepada operasi mereka yang telah mapan. Kondisi ini, diperkirakan akan berlanjut sampai adanya kejelasan mengenai iklim perundang-undangan, serta stabilnya situasi politik dan ekonomi Indonesia.
Dari survei yang dilakukan PricewaterhouseCoopers terhadap 32 perusahaan pertambangan yang telah berproduksi, dan lebih dari 250 perusahaan eksplorasi yang terlibat dalam eksplorasi di Indonesia selama tahun 1996-2000, menunjukkan pengeluaran industri tambang di Indonesia oleh responden terus merosot pada tahun 2000. Dibandingkan dengan pengeluaran tahun 1999 sebesar 2,53 milyar dollar AS, pengeluaran tahun 2000 turun 3 persen menjadi 2,46 milyar dollar AS.
Pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan mengalami penurunan yang jauh lebih besar. Pada tahun 1999 pengeluaran untuk sektor itu mencapai nilai sebesar 77,9 juta dollar AS, tahun 2000 turun sebesar 14 persen menjadi 67,3 juta dollar AS. Angka pada tahun 2000 itu mencerminkan hanya 42 persen dari puncak pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan yang terjadi pada tahun 1996, tercatat pengeluaran eksplorasi dan studi kelayakan dalam tahun 1996-2000 mencapai 556,7 juta dollar AS.
Jumlah pengeluaran eksplorasi dan studi kelayakan responden dalam persentase terhadap pengeluaran eksplorasi dunia tidak bergerak dari tahun sebelumnya, yaitu 2,9 persen. Dalam masa lima tahun tersebut, pengeluaran eksplorasi Indonesia umumnya mengikuti kecenderungan dunia dalam persentase yang hampir statis, berkisar 3,5 persen pada tahun 1996 sampai kepada yang terendah 2,7 persen pada tahun 1997.
Menurunnya pengeluaran eksplorasi ini menimbulkan keprihatinan, karena keberhasilan jangka panjang industri pertambangan Indonesia, bergantung kepada eksplorasi yang berkesinambungan dan penemuan, serta pengembangan endapan baru. Tingkat keberhasilan eksplorasi terhadap penemuan endapan yang ekonomis, beserta dengan lamanya proses penemuan sampai kepada produksi, menekankan pentingnya kegiatan eksplorasi dewasa ini.
Pengeluaran untuk pengembangan dan aktiva tetap, mencapai 847,8 juta dollar AS pada tahun 2000, atau turun sebesar 482,5 juta dollar AS dari tahun sebelumnya. Pengeluaran untuk pengembangan turun 48 persen menjadi 191,2 juta dollar AS dan pengeluaran untuk aktiva tetap turun 32 persen menjadi 656,6 juta dollar AS, karena perusahaan pertambangan memusatkan pengeluaran investasi mereka kepada proyek yang sudah "matang".
Program investasi utama yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan dalam beberapa tahun terakhir ini, di antaranya perluasan Grasberg oleh Freeport dan Rio Tinto sebesar satu milyar dollar AS, perluasan fasilitas pengolahan Inco Soroako sebesar 0,6 milyar dollar AS dan Proyek Batu Hijau Newmont, sebesar dua milyar dollar AS.
Tingkat investasi yang direncanakan pada tahun 2001 menunjukkan penurunan 55 persen dari tingkat pengeluaran tahun sebelumnya, dan penurunan 36 persen dari pengeluaran aktual rata-rata dalam lima tahun sebelumnya. Penurunan jumlah investasi yang direncanakan dibandingkan dengan tahun lalu dengan rata-rata empat tahun sebelumnya terjadi dalam semua bagian investasi, terutama yang berhubungan dengan aktiva tetap dan pengembangan.
Sembilan perusahaan yang telah berproduksi dan tujuh perusahaan eksplorasi melaporkan rencana investasi tahun 2001 sebesar 413 juta-226,4 juta dollar AS untuk aktiva tetap. Lalu, 71,9 juta dollar AS untuk eksplorasi dan studi kelayakan, 74,7 juta dollar AS untuk kegiatan berhubungan dengan pertimbangan.
Penurunan yang signifikan pada rencana investasi tahun 2001 tersebut, sebagian mencerminkan kekurangpercayaan para investor. Hal ini disebabkan berlanjutnya ketidakstabilan politik dan ekonomi di Indonesia, serta ketidakpastian di sekitar pemberlakuan undang-undang pertambangan yang baru, dampak otonomi daerah, dan bentuk, serta isi kontrak pertambangan generasi berikutnya.
Namun, ada juga pos pengeluaran yang meningkat, sebab jumlah pembelian meningkat sebesar 38 persen menjadi 1.547,6 juta dollar AS pada tahun 2000. Peningkatan terjadi pada barang-barang yang diimpor oleh perusahaan maupun yang dibeli di dalam negeri. Masing-masing meningkat sebesar 46 persen menjadi 977,3 juta dollar AS dan 38 persen menjadi 567,4 juta dollar AS. Meningkatnya pembelian dalam negeri kembali memperlihatkan bahwa industri pertambangan terus mendukung ekonomi Indonesia.
Namun, kenapa pemerintah terkait tidak mencoba untuk berkoordinasi dalam upaya mempertahankan sektor ini tetap menarik, bagi investor lokal maupun asing. Tentunya tanpa harus mengabaikan hancurnya lingkungan, hanya karena ketidaktegasan hukum. Ditambah lemahnya keteguhan para pejabat publik untuk memberlakukan sanksi bagi perusahaan pertambangan yang jelas-jelas tidak kooperatif dengan lingkungan, masyarakat sekitar, dan kepentingan ekonomi negara. (Buyung Wijaya Kusuma)
sumber : :http://d/perpustakaan.bappenas.go.idlontar/file?file=digital/blob/F14893/Pertambangan%20Indonesia%20Hadapi%20Dilema.htm
 

Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Dan Aspek Konservasi Bahan Galian


TINJAUAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG

DAN ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIAN


SARI 
Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan. Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Mengacu kepada perubahan tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau mengurangi kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan Â menghasilkan nilai tambah bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Bentuk permukaan wilayah bekas tambang pada umumnya tidak teratur dan sebagian besar dapat berupa morfologi terjal. Pada saat reklamasi, lereng yang terlalu terjal dibentuk menjadi teras-teras yang disesuaikan dengan kelerengan yang ada, terutama untuk menjaga keamanan lereng tersebut. Berkaitan dengan potensi bahan galian tertinggal yang belum dimanfaatkan, diperlukan perhatian mengingat hal tersebut berpotensi untuk ditambang oleh masyarakat atau ditangani agar tidak menurun nilai ekonominya.  
ABSTRACT 
Main problem raises at post-mining area is environmental change. Chemical change affects particularly groundwater and surface water prior to physically change of morphology and land topograpghy. Futher, changing also micro climate due to change of wind velocity, disturbing biological habitate such as flora and fauna and degradation of soil productivity with result either infertility or denudation of land. Base on those changing, though reclamation is needed to be done. Despite avoiding erosion or decreasing velocity of water’s run off, reclamation is done to maintain land from instability and making more productive condition. Finally, reclamation is hopefully to yield added value to environment and creating much better condition compared with the past.
Surfacial form of post-mining area is generally irregular and mostly as steep morphology. At the time reclamation, steep morphologies are formed to be terraces which appropriate with original slope in order to maintain secured slope condition. Concerning with abandoned mining deposit which haven’t utilitized yet, it’s needed for attention of being potency for either exploitation by public or being managed it in order to avoid decreasing its economic value. 

PENDAHULUAN 
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang (Arif, 2007).
Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan (ekosistem). Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan hidupnya pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan seperti di sektor pertanian dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin hebatnya kemampuan teknologi untuk memodifikasi alam, maka manusialah yang merupakan faktor yang paling penting dan dominan dalam merestorasi ekosistem rusak.
Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density(pemadatan), kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi semula (Rahmawaty, 2002).
Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama.Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relatif tidak berubah, yang berubah adalah sekala kegiatannya. Mekanisasi peralatan pertambangan telah menyebabkan sekala pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Pengaruh kegiatan pertambangan mempunyai dampak yang sangat signifikan terutama berupa pencemaran air permukaan dan air tanah.
Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak dan bahan tambang lainnya apabila diekstraksi harus dalam perencanaan yang matang untuk mewujudkan proses pembangunan nasional berkelanjutan (Arif, 2007). Di antara keberlanjutan pembangunan tersebut yaitu dapat terwujudnya masyarakat mandiri pasca penutupan/pengakhiran tambang (Pribadi, 2007). Aktifitas ekonomi tetap berjalan setelah pengakhiran tambang, dan tidak terjadi “Ghost Town” (Kota Hantu).
Daerah yang telah dilakukan pangakhiran tambang tidak selalu berdampak potensi bahan galiannya habis sama sekali. Komoditas bahan galian tertentu dapat masih tertinggal sebagai akibat tidak mempunyai nilai ekonomi bagi pelaku usaha yang bersangkutan. Akan tetapi sumber daya bahan galian tersebut dalam jangka panjang dapat berpeluang untuk diusahakan apabila antara lain terjadi perubahan harga atau kebutuhan yang meningkat signifikan.
Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih terttinggal. Â 

KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN ASPEK LINGKUNGAN

 Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat risisko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah harus difahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang.
Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya dan cadangan, perancangan batas penambangan (final/ultimate pit limit), pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perancangan tempat penimbunan (waste dump design), perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) termasuk pengembangan masyarakat (Community Development) serta Penutupan tambang.
Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan dan pengembangan pegawai dan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :
o        Eksplorasi
o        Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan
o        Pengolahan bijih dan operasional pabrik pengolahan
o        Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya
o        Pembangunan infrastuktur, jalan akses dan sumber energi
o        Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman.
Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan ekstraksi dan pembuangan limbah batuan, dan pengolahan bijih serta operasional pabrik pengolahan.  
Ekstraksi dan Pembuangan Limbah Batuan  
Diperkirakan lebih dari 2/3 kegiatan eksrtaksi bahan mineral di dunia dilakukan dengan pertambangan terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying, tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.
Ekstraksi bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan lubang yang besar. Salah satu teknik tambang terbuka adalah metode strip mining (tambang bidang). Dengan menggunakan alat pengeruk, penggalian dilakukan pada suatu bidang galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan oleh galian sebelumnya. Teknik tambang seperti ini biasanya digunakan untuk menggali deposit batubara yang tipis dan datar yang terletak didekat permukaan tanah.
Teknik penambangan quarrying bertujuan untuk mengambil batuan ornamen, dan bahan bangunan seperti pasir, kerikil, bahan industri semen, serta batuan urugan jalan. Untuk pengambilan batuan ornamen diperlukan teknik khusus agar blok-blok batuan ornamen yang diambil mempunyai ukuran, bentuk dan kualitas tertentu. Sedangkan untuk pengambilan bahan bangunan tidak memerlukan teknik yang khusus. Teknik yang digunakan serupa dengan teknik tambang terbuka.
Tambang bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah batuan penutup yang harus dipindahkan terlalu Â besar. Produktifitas tambang bawah tanah 5 sampai 50 kali lebih rendah dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat yang digunakan lebih kecil dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.
Kegiatan ekstraksi menghasilkan limbah/waste dalam jumlah yang sangat banyak. Total waste yang diproduksi dapat bervariasi antara 10 % sampai sekitar 99,99 % dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang dihasilkan adalah batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup(overburden) dan limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi atau batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak ekonomis untuk diolah. Penutup umumnya terdiri dari tanah permukaan dan vegetasi sedangkan batuan limbah meliputi batuan yang dipindahkan pada saat pembuatan terowongan, pembukaan dan eksploitasi singkapan bijih serta batuan yang berada bersamaan dengan singkapan bijih.
Hal-hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan limbah/wasteagar sejalan dengan upaya reklamasi adalah :
o        Luas dan kedalaman zona mineralisasi
o        Jumlah batuan yang akan ditambang dan yang akan dibuang yang akan menentukan lokasi dan desain penempatan limbah batuan.
o        Kemungkinan sifat racun limbah batuan
o        Potensi terjadinya air asam tambang
o        Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan yang berkaitan dengan kegiatan transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan bahan kimia racun, bahan radio aktif di kawasan penambangan dan gangguan pernapasan akibat pengaruh debu.
o        Sifat-sifat geoteknik batuan dan kemungkinan untuk penggunaannya untuk konstruksi sipil (seperti untuk landscaping, dam tailing, atau lapisan lempung untuk pelapis tempat pembuangan tailing).
o        Pengelolaan (penampungan, pengendalian dan pembuangan) lumpur (untuk pembuanganoverburden yang berasal dari sistem penambangan dredging dan semprot).
o        Kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah.
o        Terlepasnya gas methan dari tambang batubara bawah tanah.
Pengolahan Bijih dan Operasional Pabrik Pengolahan  
Pengolahan bijih akan menghasilkan limbah yang mempunyai karakteristik tergantung pada jenis bijih dan metoda pengolahannya. Penanganan dan penempatan limbah tersebut dalam rangka merehabilitasi/reklamasi lingkungan pasca tambang Â mempertimbangkan karakteristik kimia dan fisika limbah.
Mekanisme pengolahan bijih tergantung pada jenis tambang. Umumnya pengolahan bijih terdiri dari prosesbenefication dimana bijih yang ditambang diproses menjadi konsentrat bijih untuk diolah lebih lanjut atau dijual langsung, diikuti dengan pengolahan metalurgi dan refining. Proses benefication umumnya terdiri dari kegiatan persiapan, penghancuran dan atau penggilingan, peningkatan konsentrasi dengan gravitasi atau pemisahan secara magnetis atau dengan menggunakan metode flotasi (pengapungan), yang diikuti dengandewatering dan penyaringan. Hasil dari proses ini adalah konsentrat bijih dan limbah dalam bentuk tailingserta emisi debu. Tailing biasanya mengandung bahan kimia sisa proses dan logam berat.
Pengolahan metalurgi bertujuan untuk mengisolasi logam dari konsentrat bijih dengan metode pyrometalurgi, hidrometalurgi atau elektrometalurgi baik dilakukan sebagai proses tunggal maupun kombinasi. Prosespyrometalurgi seperti roasting (pembakaran) dan smelting menyebabkan terjadinya gas buang ke atmosfir (sebagai contoh: sulfur dioksida, partikulat dan logam berat) dan slag.
Proses pengolahan bijih bertujuan untuk mengatur ukuran partikel bijih, menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan, meningkatkan kualitas, kemurnian atau kadar bahan yang diproduksi. Proses ini biasanya terdiri dari : penghancuran, penggilingan, pencucian, pelarutan, kristalisasi, penyaringan, pemilahan, pembuatan ukuran tertentu, sintering (penggunaan tekanan dan panas dibawah titik lebur untuk mengikat partikel-partikel logam), pellettizing (pembentukan partikel-partikel logam menjadi butiran-butiran kecil), kalsinasi untuk mengurangi kadar air dan/atau karbondioksida,roasting (pemanggangan), pemanasan, klorinasi untuk persiapan proses lindian, pengentalan secara gravitasi, pemisahan secara magnetis, pemisahan secara elektrostatik, flotasi (pengapungan), penukar ion, ekstraksi pelarut, elektrowining, presipitasi, amalgamasi dan heap leaching.
Proses pengolahan yang paling umum dilakukan adalah pemisahan secara gravitasi (digunakan untuk cebakan emas letakan), penggilingan dan pengapungan (digunakan untuk bijih besi yang bersifat basa), pelindian (dengan menggunakan tangki atau heap leaching; pelindian timbunan (digunakan untuk bijih tembaga/emas kadar rendah, Gambar 1) dan pemisahan secara magnetis. Tipikal langkah-langkah pengolahan meliputi penggilingan, pencucian, penyaringan, pemilahan, penentuan ukuran, pemisahan secara magnetik, oksidasi bertekanan, pengapungan, pelindian, pengentalan secara gravitasi, dan penggumpalan (pelletizing, sintering, briquetting, dan nodulizing).
Proses pengolahan bijih menghasilkan partikel berukuran seragam, menggunakan alat penghacur dan penggilingan. Tiga tahap penghacuran umumnya diperlukan untuk memperoleh ukuran yang diingginkan. Hasil olahan bijih berbentuk lumpur, yang kemudian dipompakan ke proses pengolahan lebih lanjut.
Pemisahan magnetik digunakan untuk memisahkan bijih besi dari bahan yang memiliki daya magnetik lebih rendah. Ukuran partikel dan konsentrasi padatan menentukan jenis proses pemisahan magnetik yang akan digunakan.
Pengapungan (flotasi) menggunakan bahan kimia untuk mengikat kelompok senyawa mineral tertentu dengan gelembung udara untuk pengumpulan. Bahan kimia yang digunakan termasukcollectors, frothers, antifoams, activators, and depressants; tergantung karakteristik bijih yang diolah. Bahan kimia ini dapat mengandung sulfur dioksida, asam sufat, senyawa sianida, cressol, disesuaikan dengan karakteristik bijih yang ditambang.
Proses pemisahan gravitasi menggunakan perbedaan berat jenis mineral untuk meningkatkan konsentrasi bijih. Ukuran partikel merupakan faktor penting dalam proses pengolahan, sehingga ukuran tetap dijaga agar seragam dengan menggunakan saringan atau hydrocyclon. Tailing padat ditimbun di kolam penampungan tailing, airnya biasanya didaur ulang sebagai air proses pengolahan. Flokulan kimia seperti aluminium sulfat, kapur, besi, garam kalsium, dan kanji biasanya ditambahkan untuk meningkatkan efisiensi pemadatan. Â 
 Gambar 1. Tambang Emas Mesel, Minahasa, Sulut pada tahun 2003, situasi menjelang penutupan tambang, mengolah sisa bijih yang tersimpan pada stockpile (Tain dkk, 2003)
Pelindian merupakan proses untuk mengambil senyawa logam terlarut dari bijih dengan melarutkan secara selektif senyawa tersebut ke dalam suatu pelarut seperti air, asam sulfat dan asam klorida atau larutan sianida. Logam yang diingginkan kemudian diambil dari larutan tersebut dengan pengendapan kimiawi atau bahan kimia yang lain atau proses elektrokimia. Metode pelindian dapat berbentuk timbunan, heap atau tangki. Metode pelindian heap leaching (Gambar 1) banyak digunakan untuk pertambangan emas sedangkan pelindian dengan timbunan banyak digunakan untuk pertambangan tembaga.  
Gambar 2. Settling pond untuk pengendapan fine coal dan lumpur ampas pencucian batubara (Tain dkk., 2001) 
Proses pengolahan batu bara pada umumnya diawali oleh pemisahan limbah dan batuan secara mekanis diikuti dengan pencucian batu bara untuk menghasilkan batubara berkualitas lebih tinggi. Dampak potensial akibat proses ini adalah pembuangan batuan limbah dan batubara tak terpakai (Gambar 2), timbulnya debu dan pembuangan air pencuci  (Karliansyah, 2001). 
LINGKUP REKLAMASI  
Rehabilitasi lokasi penambangan dilakukan sebagai bagian dari program pengakhiran tambang yang mengacu pada penataan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Kegiatan pengakhiran tambang emas Kelian di Kalimantan Timur merupakan yang pertama di Indonesia untuk pengakhiran tambang sekala besar, sehingga diupayakan dapat menjadi model percontohan di masa datang. Pola pengakhiran tambang yang dilakukan oleh KEM (Kelian Equatorial Mining) di Kalimantan Timur merupakan salah satu benchmark di Indonesia maupun pada tingkat internasional. Pengakhiran tambang yang dilakukan KEM dijadikan salah satu proyek percontohan program kemitraan pembangunan atau BPD (Business Partnership for Development) oleh pihak Bank Dunia (Inamdar dkk., 2002).
Salah satu kegiatan pengakhiran tambang, yaitu reklamasi, yang merupakan upaya penataan kembali daerah bekas tambang agar bisa menjadi daerah bermanfaat dan berdayaguna. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Sebuah lahan atau gunung yang dikupas untuk diambil isinya hingga kedalaman ratusan meter bahkan sampai seribu meter (Gambar 3), walaupun sistem gali timbun (back filling) diterapkan tetap akan meninggalkan lubang besar seperti danau (Herlina, 2004).
Pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Kegiatan rehabilitasi dilakukan merupakan kegiatan yang terus menerus dan berlanjut sepanjang umur pertambangan sampai pasca tambang.
Tujuan jangka pendek rehabilitasi adalah membentuk bentang alam (landscape) yang stabil terhadap erosi. Selain itu rehabilitasi juga bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai menyesuaiakan dengan tataguna lahan pasca tambang. Penentuan tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direhabilitasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya.
Teknik rehabilitasi meliputi regarding, reconturing, dan penaman kembali permukaan tanah yang tergradasi, penampungan dan pengelolaan racun dan air asam tambang (AAT) dengan menggunakan penghalang fisik maupun tumbuhan untuk mencegah erosi atau terbentuknya AAT. Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :
o        Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian kembali
o        Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi dan pengelolaan air (Gambar 12).  
Gambar 3. Tambang tembaga Batu Hijau (modifikasi dari Foto koleksi H. Lahar) 
o        Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan bahaya radiasi
o        Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi
o        Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, potensi terjadinya AAT dari bukaan tambang yang terlantar, pengelolaan tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan)
o        Penanganan potensi timbulnya gas metan dan emisinya dari tambang batubara (Karliansyah, 2001).
o        Sulfida logam yang masih terkandung pada tailing atau waste merupakan pengotor yang potensial akan menjadi bahan toksik dan penghasil air asam tambang yang akan mencemari lingkungan, pemanfaatan sulfida logam tersebut merupakan salah satu alternatif penanganan. Demikian juga kandungan mineral ekonomi yang lain, diperlukan upaya pemanfaatan (Gambar 4).
o        Penanganan/penyimpanan bahan galian yang masih potensial untuk menjadi bernilai ekonomi baik dalam kondisi in-situ, berupa tailing atau waste. 
 
Gambar 4. (A) Tailing tambang tembaga mengandung emas; (B) ditambang oleh masyarakat, Mimika, Papua (Foto koleksi SJ Suprapto)
LAHAN BEKAS TAMBANG SEBAGAI EKOSISTEM RUSAK
 Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan (Gambar 5).
Menurut Jordan (1985 dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
1.       ringan, apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak, atau penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati,
2.       menengah, apabila struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, misalnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya,
3.       beratapabila struktur hutan rusak berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun, contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan, termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan.  
Gambar 5. Lahan reklamasi bekas tambang timah,  ditambang oleh PETI, tidak direklamasi kembali, Belitung (Widhiyatna dkk., 2006). 
REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG  
Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanahrevegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.
Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan.  
Rekonstruksi Tanah 
Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk (Gambar 7).
Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan lereng, diperuntukan juga bagi penempatan tanaman revegetasi (Gambar 6 dan 12). 
Gambar 6. Skema bentuk teras kebun dan guludan (KPP Konservasi, 2006) 
Gambar Â 7. Pengurugan kembali bekas tambang emas di Wetar (Foto koleksi R. Hutamadi) 
Revegetasi 
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza.
Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.
Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002). 
Penanganan Potensi Air Asam Tambang 
Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas.
Secara kimia kecepatan pembentukan asam tergantung pada pH, suhu, kadar oksigen udara dan air, kejenuhan air, aktifitas kimia Fe3+, dan luas permukaan dari mineral sulfida yang terpapar pada udara. Sementara kondisi fisika yang mempengaruhi kecepatan pembentukan asam, yaitu cuaca, permeabilitas dari batuan, pori-pori batuan, tekanan air pori, dan kondisi hidrologi. Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak terhindarkan terbentuk.           
Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah.           
Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Air asam diolah pada instalasi pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman untuk dibuang ke dalam badan air. Penanganan dapat dilakukan juga dengan bahan penetral, umumnya menggunakan batugamping, yaitu air asam dialirkan melewati bahan penetral untuk menurunkan tingkat keasaman (Suprapto, 2006). 
Pengaturan Drainase 
Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.
Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeabel. Hal ini untuk menghindarkan pelarutan sulfida logam yang potensial menghasilkan air asam tambang (Gambar 13). 
Tataguna Lahan Pasca Tambang 
Lahan bekas tambang tidak selalu dekembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tertgantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut. Pekembangan suatu wilayah menghendaki ketersediaan lahan baru yang dapat dipergunakan untuk pengembangan pemukiman atau kota. Lahan bekas tambang bauksit sebagai salah satu contoh, telah diperuntukkan bagi pengembangan kota Tanjungpinang (Gambar 8). 
  
Gambar 8. Reklamasi lahan bekas tambang bauksit untuk pemukiman dan pengembangan kota,Tanjungpinang, Bintan (Rohmana dkk., 2007) 
Pemilihan spesies untuk revegetasi terkait juga tataguna lahan pasca tambang. Perkembangan harga minyak bumi akhir-akhir ini, memberikan peluang untuk pengembangan bio-energi, diantaranya dengan pengembangan tanaman jarak pagar untuk menghasilkan minyak. Sebagian lahan bekas tambang telah dicanangkan untuk program pengembangan bio-energi tersebut (Gambar 9). Kelebihan jarak pagar adalah selain mampu mereklamasi bekas lahan tambang dalam waktu singkat, tanaman ini juga menghasilkan sumber energi terbarukan biodisel (Soesilo, 2007 dalam Ridwan, 2007). 
 
Gambar 9. Revegetasi lahan bekas tambang batubara menggunakan tanaman jarak (PT. Berau Coal, 2007) 
ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIAN    
       
Reklamasi lahan bekas tambang terkait dengan upaya konservasi untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari potensi bahan galian. Upaya konservasi tidak menghendaki adanya potensi bahan galian yang tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu reklamasi lahan bekas tambang harus mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih ada. Baik bahan galian utama yang karena kualitas atau kadarnya belum mempunyai nilai ekonomi, bahan galian lain diluar yang diusahakan serta komoditas bahan galian yang masih terkandung pada tailing (Gambar 4 dan 11).
Operasional kegiatan pertambangan pada tahap penambangan dan pengolahan umumnya tidak mendapatkan perolehan 100%, yang berarti masih ada bahan galian yang tertinggal dalam kondisi in situ, sebagai wasteatau pada tailing. Bahan galian tertinggal pada wilayah bekas tambang tersebut pada beberapa kasus, kembali ditambang, baik oleh pelaku usaha pertambangan atau oleh masyarakat.
Penambangan bahan galian tertinggal khususnya oleh masyarakat atau PETI terjadi pada wilayah bekas tambang lama ataupun yang belum lama dilakukan reklamasi (Gambar 10), bahkan ketika kegiatan usaha pertambangan masih berlangsung pada blok yang berbeda. Mengingat hal tersebut, maka agar reklamasi dapat berhasil dengan baik, bahan galian tertinggal tidak turun nilainya dan berpeluang untuk kembali diusahakan, perlu dilakukan langkah penanganan dan perlindungan sebagai berikut :
o        Bahan galian tertinggal yang secara ekonomi berpotensi diusahakan untuk pertambangan rakyat atau pertambangan sekala kecil, perlu dilakukan sterilisasi, dengan menambang dan mengolahnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa. Sebagai contoh, pada pengakhiran tambang emas Kelian di Kalimantan Timur, endapan emas aluvial yang ada, ditambang dengan target perolehan 100% adalah untuk menghilangkan risiko kemungkinan gangguan terhadap lahan basah di masa mendatang (Inamdar dkk., 2002).  
Gambar 10. Tailing tambang timah yang telah direklamasi, kembali ditambang oleh masyarakat, Belitung (Widhiyatna dkk., 2006).
o        Bahan galian yang telah terganggu keberadaannya, seperti telah tersimpan di stock pile akan tetapi mempunyai kualitas atau kadar yang belum mempunyai nilai ekonomi, harus disimpan pada lokasi dengan penanganan agar tidak turun nilai ekonominya dan apabila akan dimanfaatkan dapat dengan mudah digali.
o        Bahan galian in situ yang karena dimensi atau kadarnya belum mempunyai nilai ekonomi agar tidak menjadi areal penimbunan waste atau tailing untuk mencegah turunnya nilai ekonomi. 
Gambar 11. Pasir kuarsa, merupakan tailing tambang kaolin (Widhiyatna dkk., 2006) 
o        Akibat perkembangan teknologi atau harga sehingga komoditas bahan galian dan atau mineral ikutannya menjadi mempunyai nilai ekonomi, maka kegiatan usaha pertambangan untuk mengusahakan komoditas tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti aturan perundang undangan yang berlaku.    
KESIMPULAN            
Pada pasca tambang, kegiatan yang utama dalam merehabalitisai lahan yaitu mengupayakan agar menjadi ekosistem yang berfungsi optimal atau menjadi ekosistem yang lebih baik. Reklamasi lahan dilakukan dengan mengurug kembali lubang tambang serta melapisinya dengan tanah pucuk, dan revegetasi  lahan serta diikuti dengan pengaturan drainase dan penanganan/pencegahan air asam tambang.             
Penataan lahan bekas tambang disesuaikan dengan penetapan tataruang wilayah bekas tambang. Lahan bekas tambang dapat difungsikan menjadi kawasan lindung ataupun budidaya.            
Lahan pasca tambang memerlukan penanganan yang dapat menjamin perlindungan terhadap lingkungan, khsususnya potensi timbulnya air asam tambang, yaitu dengan mengupayakan batuan mengandung sulfida tidak terpapar pada udara bebas, serta dengan mengatur drainase.           
Bahan galian yang mengandung komoditas masih mempunyai peluang untuk menjadi ekonomis perlu penanganan dan penyimpanan yang baik agar tidak turun nilai ekonominya, serta apabila diusahakan dapat digali dengan mudah.
Diupayakan agar tidak ada bahan tambang ekonomis yang masih tertinggal. Hal ini terutama bahan galian yang potensial mengundang masyarakat atau PETI untuk memanfaatkannya, sehingga akan mengganggu proses reklamasi, maka perlu disterilkan terlebih dahulu dengan menambang dan mengolahnya. 
UCAPAN TERIMAKASIH            
Terimakasih disampaikan kepada rekan-rekan di Kelompok Program Penelitian Konservasi atas bantuan dan kerjasamanya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â 

ACUAN 
Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam Ratulangi, Manado
Herlina, 2004Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong, Reklamasi 100 Persen MustahilBanjarmasin Post, Banjarmasin
Inamdar, A., dan Makinuddin, N., 2002Kelian Mine Closure Steering Committee, Independent Facilitator’s Report
Pribadi, P., 2007. Peranan Asosiasi Dalam Peningkatan Kualitas Program CSR Perusahaan Tambang, Indonesian Mining Association, Balikpapan.
PT. Berau Coal, 2007. Pengembangan dan Penggunaan Biodisel di PT. Berau Coal Bebasis Tanaman Jarak,http://pub.bhaktiganesha.or.id/itb77/files/Biofuel%20papers
Karliansyah, M.R., 2001. Aspek Lingkungan Dalam AMDAL Bidang Pertambangan. Pusat Pengembangan dan Penerapan AMDAL. Jakarta
KPP Konservasi, 2006. Ensiklopedi Bahan Galian Indonesia, Seri Batugamping, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Ridwan, M., 2007. Tanaman Jarak di Bekas Tambang Batu Bara, Harian Umum Sore Sinar Harapan.Rohmana,  Djunaedi, E.K., dan Pohan, M.P., 2007. Inventarisasi Bahan Galian Pada Bekas Tambang di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Suprapto, S.J., 2006. Pemanfaatan dan Permasalahan Endapan Mineral Sulfida pada Kegiatan Pertambangan. Buletin Sumber Daya Geologi. Vol. 1 No. 2.
Tain, Z., Suhandi, Rosyid dan Romana, 2001. Pendataan Bahan Galian Tertinggal di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan TimurDirektorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Tain, Z., Suprapto, S.J., dan Suhandi, 2003. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di Daerah Belang, Kabupaten Minasa, Sulawesi Utara, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Tain, Z., Sutrisno, dan Suprapto, S.J., 2005. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Widhiyatna, D., Pohan, M.P., Putra, C., 2006. Inventarisasi Bahan Galian Pada Wilayah Bekas Tambang di Daerah Belitung, Babel, Â Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung  
 
  
Sebelum revegetasi 
 
 Sesudah revegetasi
Gambar 12. Bekas tambang emas diurug dan direvegetasi/dihutankan kembali, Halmahera Utara, Maluku Utara (Tain dkk., 2005) 
  
 
Gambar 13. Penanganan drainase lahan bekas tambang emas Mesel, Minahasa, Sulawesi Utara (Tain dkk., 2003)                 

 Oleh
Sabtanto Joko Suprapto
Kelompok Program Penelitian Konservasi – Pusat Sumber Daya Geologi  

sumber :